Fakta vs Mitos: Benarkah Orang Ekstrovert Lebih Bahagia daripada Introvert?
JAKARTA, kilasjurnal.id ā Dalam pergaulan sosial, kita sering melihat dua kutub manusia yang berbeda. Si Ekstrovert yang selalu tertawa keras, menjadi pusat perhatian di pesta, dan punya ribuan teman. Di sisi lain, ada Si Introvert yang lebih suka menyendiri di pojok kafe dengan buku, tenang, dan irit bicara.
Stereotip yang berkembang di masyarakat seringkali menyimpulkan: “Orang ekstrovert pasti hidupnya lebih bahagia, sedangkan introvert cenderung kesepian atau murung.”
Anggapan ini membuat banyak orang introvert merasa “salah” dengan dirinya sendiri dan berusaha keras memaksakan diri menjadi ekstrovert demi mengejar kebahagiaan. Namun, apakah benar kebahagiaan itu monopoli kaum ekstrovert semata? Mari kita bedah mitos ini dengan pisau bedah psikologi.
Fakta 1: Ekstrovert Memang Melaporkan Skor Kebahagiaan Lebih Tinggi, TAPI…
Secara statistik dalam berbagai penelitian psikologi positif, pernyataan bahwa “ekstrovert lebih bahagia” adalah FAKTA, namun dengan catatan tebal.
Banyak studi menunjukkan korelasi positif antara ekstroversi dan subjective well-being (kesejahteraan subjektif). Mengapa? Karena orang ekstrovert cenderung lebih responsif terhadap sistem reward (imbalan) di otak.
Otak ekstrovert lebih sensitif terhadap Dopamināhormon kepuasan yang meletup saat kita mendapatkan hadiah, pujian, atau interaksi sosial yang seru. Karena mereka aktif mencari stimulasi sosial yang memicu dopamin ini, mereka lebih sering merasakan emosi positif intens (kegembiraan, antusiasme) yang sering didefinisikan orang awam sebagai “bahagia”.
Fakta 2: Beda Definisi “Bahagia”
Di sinilah letak kesalahpahaman terbesarnya. Mitos muncul karena kita menyamakan “Bahagia” dengan “Kegembiraan yang Meluap-luap” (High Arousal Happiness).
Padahal, kebahagiaan memiliki spektrum.
- Ekstrovert cenderung mencari kebahagiaan tipe High Arousal: Perasaan excited, bersemangat, euforia pesta, dan adrenalin.
- Introvert cenderung mencari kebahagiaan tipe Low Arousal: Perasaan damai, tenang, rileks, dan contentment (rasa cukup).
Bagi seorang introvert, membaca buku di kamar yang sunyi atau deep talk dengan satu sahabat adalah puncak kebahagiaan. Mereka tidak tertawa terbahak-bahak, tapi kadar kepuasan batin mereka bisa jadi setaraāatau bahkan lebih dalamādaripada ekstrovert yang sedang berpesta. Jadi, introvert tidak kurang bahagia, mereka hanya berbeda cara menikmati kebahagiaan.
Fakta 3: Bias Budaya “Extrovert Ideal”
Faktor lain yang membuat ekstrovert terlihat lebih bahagia adalah karena dunia kita didesain untuk mereka. Sekolah, kantor open-plan, hingga media sosial, semuanya memberikan penghargaan lebih pada sifat-sifat ekstrovert (berani bicara, suka tampil, mudah bergaul).
Fenomena ini disebut The Extrovert Ideal. Karena lingkungan mendukung sifat alami mereka, kaum ekstrovert lebih mudah beradaptasi dan merasa diterima (sense of belonging), yang otomatis meningkatkan rasa bahagia. Sebaliknya, introvert sering merasa tertekan karena dituntut menjadi orang lain, yang bisa menggerus kebahagiaan mereka.
Kesimpulan
Apakah orang ekstrovert lebih bahagia? Jawabannya: MITOS.
Yang benar adalah: Ekstrovert lebih sering merasakan dan mengekspresikan emosi positif berenergi tinggi, sementara introvert lebih menikmati kedamaian dan ketenangan.
Kebahagiaan bukan kompetisi siapa yang paling keras tertawa. Kebahagiaan adalah tentang mengenali kebutuhan diri sendiri. Jika Anda seorang introvert, jangan memaksakan diri menjadi “pusat pesta” hanya karena ingin bahagia. Kebahagiaan Anda valid, meskipun hening dan tak terdengar oleh dunia.
Related Keywords: perbedaan introvert dan ekstrovert, psikologi kebahagiaan, hormon dopamin, kepribadian manusia, kesehatan mental introvert.
