Fakta vs MitosSains🧠 Psikologi & Hubungan

Fakta vs Mitos: Benarkah Bulan Purnama Bisa Mengacak-acak Emosi Manusia?

JAKARTA, kilasjurnal.id – Pernahkah Anda mendengar petugas medis di Unit Gawat Darurat (UGD) atau petugas kepolisian mengeluh bahwa malam ini pekerjaan terasa lebih “gila” dari biasanya karena sedang bulan purnama? Atau mungkin Anda sendiri pernah merasa lebih cemas, sulit tidur, atau emosional tanpa alasan jelas saat langit terang benderang oleh rembulan penuh?

Keyakinan bahwa fase bulan memengaruhi perilaku manusia telah mengakar kuat dalam budaya pop dan cerita rakyat selama berabad-abad. Istilah “Lunatic” (orang gila) sendiri berasal dari kata Latin Luna (Bulan), menyiratkan bahwa kegilaan bersifat periodik mengikuti siklus bulan. Legenda manusia serigala (werewolf) hanyalah manifestasi ekstrem dari kepercayaan ini. Namun, ketika kita membawa klaim ini ke meja laboratorium dan membedahnya dengan pisau statistik serta astrofisika, apakah premis ini masih bisa bertahan?

Logika Pasang Surut: Sebuah Kesalahpahaman Fisika

Argumen paling populer yang mendukung mitos ini biasanya berbunyi: “Tubuh manusia terdiri dari 60-70 persen air. Jika gravitasi bulan mampu menggerakkan samudra (pasang surut), maka pasti ia juga bisa mengaduk-aduk cairan dalam tubuh dan otak kita, memicu perubahan emosi.”

Sekilas, logika ini terdengar masuk akal secara ilmiah. Namun, ini adalah MITOS. Faktanya, secara fisika, pengaruh gravitasi bulan terhadap tubuh manusia sangatlah tidak signifikan, nyaris nol.

Para astronom menjelaskan bahwa efek pasang surut air laut terjadi karena massa samudra yang begitu masif dan luas. Sebaliknya, volume air dalam tubuh manusia terlalu kecil untuk merespons tarikan gravitasi bulan. Seorang astronom terkenal, George Abell, pernah menghitung bahwa seekor nyamuk yang hinggap di lengan Anda memberikan tarikan gravitasi yang lebih besar terhadap tubuh Anda dibandingkan bulan purnama. Bahkan, dinding kamar tidur Anda memiliki gaya tarik gravitasi yang lebih kuat terhadap Anda daripada bulan yang berjarak 384.400 kilometer jauhnya. Jadi, secara biofisika, tidak ada mekanisme pasang surut internal yang bisa “mengocok” emosi atau otak kita.

Koneksi Cahaya dan Ritme Sirkadian

Meskipun teori gravitasi terbantahkan, sains mengakui adanya korelasi tipis yang bersifat evolusioner, namun bukan pada emosi, melainkan pada pola tidur. Sebelum ditemukannya lampu listrik, bulan purnama adalah sumber cahaya utama di malam hari. Cahaya terang ini secara alami mengganggu produksi melatonin (hormon tidur) dan membuat nenek moyang kita tetap terjaga atau tidur tidak nyenyak.

Kurang tidur (sleep deprivation) inilah yang sebenarnya menjadi kunci. Seseorang yang kurang tidur cenderung lebih mudah tersinggung, emosional, dan impulsif. Jadi, jika ada lonjakan perilaku aneh saat bulan purnama di masa lampau, itu bukan karena “sihir bulan”, melainkan karena orang-orang kelelahan akibat sulit tidur karena cahaya terang. Di era modern dengan polusi cahaya lampu kota, efek cahaya bulan ini menjadi semakin tidak relevan, namun sisa-sisa ritme biologis ini mungkin masih tertanam samar dalam genetik kita.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam Chronobiology International (2014) sempat menemukan bahwa waktu tidur peserta berkurang sekitar 20 menit saat bulan purnama, namun studi-studi lain dalam skala lebih besar gagal mereplikasi hasil tersebut secara konsisten.

Bias Konfirmasi: Musuh Rasionalitas

Jika sains tidak menemukan bukti kuat, mengapa banyak perawat, polisi, dan masyarakat umum bersumpah bahwa “efek bulan purnama” itu nyata? Jawabannya terletak pada psikologi manusia yang disebut Bias Konfirmasi (Confirmation Bias) dan Korelasi Ilusi.

Otak manusia adalah mesin pencari pola. Kita cenderung mengingat kejadian yang mendukung keyakinan kita dan melupakan kejadian yang tidak mendukungnya. Jika terjadi keributan, kecelakaan, atau perilaku aneh pada malam gelap tanpa bulan, kita hanya menganggapnya sebagai “malam yang sibuk”. Kita tidak menengok ke langit.

Namun, jika kejadian serupa terjadi saat bulan purnama bersinar terang, otak kita langsung membuat koneksi: “Ah, pantas saja, sedang purnama!” Kita mengingat satu malam purnama yang kacau, tapi melupakan sepuluh malam purnama lain yang tenang-tenang saja. Inilah yang membuat mitos ini terus hidup subur. Data statistik kriminal dan pendaftaran rumah sakit jiwa di berbagai negara berulang kali membuktikan tidak ada lonjakan signifikan yang berkorelasi dengan siklus bulan.

Kesimpulan

Anggapan bahwa bulan purnama dapat mengubah manusia menjadi sosok yang emosional atau “gila” adalah mitos yang lebih didasari oleh cerita rakyat dan bias psikologis daripada fakta biologis. Gravitasi bulan tidak cukup kuat untuk memengaruhi air di otak Anda, dan cahaya bulan kini kalah terang dibanding layar smartphone Anda.

Jika Anda merasa emosional saat bulan purnama, kemungkinan besar itu adalah kebetulan, atau sugesti diri sendiri (self-fulfilling prophecy). Bulan mungkin indah untuk dipandang dan ditulis dalam puisi, namun ia tidak bertanggung jawab atas suasana hati Anda yang buruk hari ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *