Pakar Ungkap Kesalahan Orang Tua yang Hambat Kecerdasan Emosional Anak
Jakarta KilasJurnal.id — Perkembangan kecerdasan emosional anak bukan hanya bergantung pada bakat atau pendidikan formal, tetapi sangat dipengaruhi oleh cara orang tua mengasuh, merespons, dan berinteraksi dengan buah hati mereka setiap hari. Menurut para pakar parenting dan psikologi perkembangan, terdapat sejumlah kesalahan umum yang sering dilakukan orang tua yang justru dapat “menghambat” kemampuan emosional anak — suatu aspek penting dalam psikologi anak yang berdampak pada hubungan sosial, pengendalian diri, dan kesejahteraan mental jangka panjang.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali, memahami, mengendalikan, dan mengekspresikan emosi secara sehat. Bagi anak, kecerdasan emosional membantu mereka menavigasi konflik, berempati pada orang lain, serta mengelola stres dan frustrasi — keterampilan yang sangat penting sepanjang hidup.
Namun, risiko besar muncul ketika orang tua tidak menyadari bagaimana sikap dan respons mereka sehari-hari dapat membentuk atau justru menghambat dimensi emosional ini. Para pakar menegaskan bahwa beberapa perilaku orang tua yang dianggap “normal” dalam keseharian dapat berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan emosional anak.
1. Menyampingkan atau Mengabaikan Emosi Anak
Pakar parenting sering menyoroti sebuah kesalahan mendasar — yaitu ketika orang tua mengabaikan perasaan anak atau meremehkannya, terutama saat mereka menunjukkan ekspresi emosional yang kuat seperti marah, sedih, atau frustasi.
Contoh sederhana adalah ketika anak merasa sedih atau kecewa, orang tua mungkin berkata, “Tidak apa-apa, jangan menangis, itu bukan masalah besar.” Meski niatnya ingin menenangkan, respons semacam ini dapat membuat anak merasa perasaan mereka tidak valid atau tidak penting. Akibatnya, anak belajar bahwa emosi mereka harus disimpan — suatu pola yang justru menghambat kemampuan mereka memahami dan mengekspresikan emosi secara sehat.
2. Memperbaiki Masalah Tanpa Mengajarkan Cara Mengatasinya
Kesalahan lain yang menghambat kecerdasan emosional adalah ketika orang tua langsung menyelesaikan masalah untuk anak tanpa memberi mereka kesempatan belajar dari pengalaman tersebut.
Misalnya, ketika anak menghadapi konflik dengan teman di sekolah, orang tua mungkin langsung “mengintervensi” dan menyelesaikan masalah tanpa menanyakan bagaimana perasaan anak atau apakah mereka bisa mencoba menyelesaikannya sendiri. Padahal, proses menyelesaikan konflik tersebut adalah bagian penting dari pembelajaran emosional — seperti mengelola rasa frustrasi, mencari solusi, dan memahami perspektif orang lain.
3. Menggabungkan Perilaku dengan Identitas Si Anak
Beberapa orang tua secara tidak sadar mengaitkan perilaku negatif anak dengan identitas pribadi mereka. Misalnya, saat anak melakukan kesalahan kecil seperti menumpahkan minuman atau melupakan tugas sekolah, orang tua berkata, “Kamu memang terlalu ceroboh!” atau “Kamu tidak pernah bisa melakukan apa pun dengan benar!”
Kalimat seperti ini membuat anak merasa bahwa kesalahan adalah bagian dari “siapa mereka sebagai individu”. Padahal para pakar menekankan bahwa penting untuk memisahkan perilaku dari identitas anak, sehingga mereka merasa aman dan tetap percaya diri setelah melakukan kesalahan.
4. Tidak Mengajarkan Cara Mengatasi Emosi Sendiri
Salah satu tujuan utama kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengatur dan meredam emosi sendiri ketika situasi berubah atau memicu stres. Namun, banyak orang tua yang cenderung memarahi atau langsung ikut frustrasi ketika anak menghadapi situasi emosional yang menantang.
Padahal, contoh perilaku orang tua yang tenang, reflektif, dan mampu mengungkapkan perasaan mereka dengan jelas — misalnya, “Aku merasa sedih karena kita tidak bisa pergi bermain hari ini, tetapi kita bisa melakukan hal lain bersama.” — dapat membantu anak belajar untuk meniadakan perasaan negatif secara sehat.
5. Perlakuan Berlebihan terhadap Emosi (Overindulgence)
Selain mengabaikan emosi anak, kebiasaan sebaliknya — yaitu selalu memenuhi kebutuhan emosional secara berlebihan — juga bisa berdampak negatif. Ketika orang tua terlalu cepat merespons setiap tanda frustrasi atau sedih dengan penawaran hadiah, pujian semata tanpa penyelesaian emosional, anak bisa belajar bahwa emosinya hanya bisa “teratasi” melalui pemuasan eksternal, bukan melalui proses internal yang sehat.
6. Tidak Memberi Ruang pada Anak untuk Belajar Kesalahan
Kesalahan merupakan bagian tak terpisahkan dari proses belajar — termasuk dalam pengembangan kecerdasan emosional. Namun, banyak orang tua yang merasa perlu selalu melindungi anak dari kegagalan atau pengalaman frustasi.
Padahal, ketika anak dibiarkan sedikit “berjuang” dalam batas aman, mereka belajar mengelola emosi seperti kecewa, cemas, atau marah. Hal ini membantu mereka memahami bahwa emosi sulit bisa dihadapi dan diatur, bukan dihindari.
7. Kurangnya Komunikasi Tentang Perasaan
Perkembangan emosional anak juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka untuk mengenali dan menamai perasaan sendiri. Orang tua yang jarang membuka ruang diskusi tentang perasaan anak secara eksplisit — seperti menanyakan “Apa yang kamu rasakan saat itu?” atau “Bagaimana menurutmu kita bisa mengatasinya?” — seringkali tidak membantu anak belajar kosakata emosional yang penting untuk ekspresi diri.
Cara Orang Tua Mendukung Kecerdasan Emosional Anak
Para pakar parenting tidak hanya menunjukkan kekeliruan, tetapi juga memberikan solusi praktis yang bisa diterapkan orang tua:
A. Validasi Perasaan Anak
Daripada meremehkan, orang tua sebaiknya mengakui emosi anak dengan kalimat sederhana seperti, “Aku tahu kamu sedih karena permainanmu rusak, itu memang mengecewakan.” Teknik ini membantu anak merasa dimengerti dan didukung secara emosional.
B. Ajarkan Bahasa Emosi
Orang tua bisa membantu anak belajar menamai perasaan mereka — misalnya “marah”, “kecewa”, “senang”, “cemas” — sehingga anak semakin mampu mengenali dan menjelaskan emosi mereka sendiri.
C. Modelkan Regulasi Emosi yang Sehat
Anak tidak belajar hanya dari apa yang orang tua katakan, tetapi juga dari apa yang mereka lakukan. Ketika orang tua menunjukkan cara merespons emosi secara sehat — misalnya dengan mengambil napas panjang ketika marah — anak cenderung meniru perilaku tersebut.
D. Biarkan Anak Menghadapi Tantangan Bertahap
Memberikan tantangan sesuai usia yang membuat anak berpikir dan mencoba memecahkan masalah sendiri juga membantu perkembangan emosional mereka.
Mengapa Kecerdasan Emosional Anak Penting?
Anak dengan kecerdasan emosional yang baik lebih mungkin memiliki:
âś” Keterampilan sosial yang kuat
âś” Kemampuan merespons konflik secara konstruktif
âś” Ketahanan mental terhadap stres
âś” Rasa percaya diri yang sehat
âś” Hubungan interpersonal yang lebih kuat
Keterampilan ini tidak hanya membantu mereka di masa kanak-kanak, tetapi juga di kehidupan dewasa masa depan — baik dalam hubungan pribadi maupun profesional.
Kesimpulan
Kecerdasan emosional anak bukan sesuatu yang datang begitu saja. Ia tumbuh dari interaksi sehari-hari antara anak dan orang tua, terutama bagaimana perasaan dan situasi emosional direspon di rumah. Banyak kesalahan umum yang sering dilakukan orang tua — seperti mengabaikan emosi anak, memperbaiki masalah tanpa memberi pembelajaran, atau terlalu memproteksi — bisa menghambat perkembangan kemampuan ini.
Namun dengan pemahaman, komunikasi terbuka, dan contoh nyata dari orang tua, anak bisa belajar mengenali, memahami, dan mengelola emosi mereka secara sehat. Proses ini memerlukan kesabaran, tetapi hasilnya dapat membantu anak menjadi pribadi yang lebih kuat, empatik, dan resilien menghadapi tantangan hidup di masa depan.

