Fakta vs MitosSains

Fakta vs Mitos: Cuaca Ekstrem Makin Menggila, Benarkah Tanda Kiamat Sudah Dekat?

JAKARTA, kilasjurnal.id – Belakangan ini, rasanya tidak ada hari tanpa berita bencana. Mulai dari gelombang panas (heatwave) yang memanggang Eropa dan Asia, badai siklon yang meluluhlantakkan pesisir, hingga hujan es di wilayah tropis yang tak lazim. Fenomena alam yang “mengamuk” ini sering kali memicu kecemasan kolektif di masyarakat.

Di warung kopi hingga grup WhatsApp keluarga, narasi yang muncul seringkali bernada teologis: “Ini sudah akhir zaman,” atau “Kiamat sudah dekat.” Ketakutan ini wajar, mengingat narasi tentang kehancuran alam memang tertulis dalam banyak kitab suci sebagai tanda-tanda akhir dunia. Namun, jika kita menyingkirkan sejenak kacamata ketakutan dan memakai kacamata sains, apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Bumi kita? Apakah ini benar-benar “kiamat” supranatural, atau sebuah konsekuensi fisika yang logis?

Fakta: Ini Bukan Sihir, Ini Krisis Iklim Buatan Manusia

Secara ilmiah, mengaitkan cuaca ekstrem semata-mata sebagai “takdir kiamat” adalah sebuah MITOS yang bisa berbahaya karena membuat kita pasrah dan tidak berbuat apa-apa. Faktanya, apa yang kita alami saat ini adalah dampak langsung dari Perubahan Iklim Antropogenik (perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia).

Bumi tidak sedang “marah” tanpa sebab. Atmosfer kita sedang kelebihan energi panas. Sejak Revolusi Industri, manusia membakar bahan bakar fosil (batu bara, minyak, gas) secara masif. Aktivitas ini melepaskan miliaran ton karbon dioksida (CO2) dan metana ke atmosfer.

Shutterstock

Gas-gas ini bertindak seperti selimut tebal yang memerangkap panas matahari di dalam bumi—sebuah fenomena yang kita kenal sebagai Efek Rumah Kaca. Semakin tebal selimutnya (semakin banyak polusi), semakin panas suhu bumi. Dalam hukum termodinamika, panas adalah energi. Ketika atmosfer memiliki energi berlebih, ia harus melepaskannya. Pelepasan energi berlebih inilah yang bermanifestasi menjadi badai yang lebih kuat, kemarau yang lebih panjang, dan curah hujan yang lebih ekstrem. Jadi, ini adalah mekanisme fisika murni, bukan kutukan mistis.

Istilah Baru: “Global Boiling”

Sekjen PBB Antonio Guterres pada pertengahan 2023 bahkan telah menyatakan bahwa era Global Warming (Pemanasan Global) sudah berakhir dan kita memasuki era Global Boiling (Pendidihan Global). Ini bukan hiperbola. Data satelit menunjukkan suhu permukaan laut dan daratan terus memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah peradaban manusia.

Dampaknya adalah kekacauan siklus air. Udara yang lebih panas mampu menampung lebih banyak uap air. Akibatnya, ketika hujan turun, ia tidak turun sebagai gerimis yang romantis, melainkan sebagai “bom air” yang memicu banjir bandang seketika. Sebaliknya, di tempat lain, tanah yang kerontang karena penguapan ekstrem memicu kebakaran hutan yang tak terkendali.

Kiamat vs Kepunahan Massal (Mass Extinction)

Jika “kiamat” didefinisikan sebagai kehancuran total alam semesta oleh kehendak Tuhan, sains tidak bisa membuktikan atau membantahnya karena itu ranah iman. Namun, jika “kiamat” dimaknai sebagai kehancuran peradaban manusia dan ekosistem, maka sains setuju bahwa kita sedang berjalan menuju ke sana—tetapi pemicunya adalah kita sendiri.

Para ilmuwan menyebut kita sedang berada di ambang Kepunahan Massal Keenam (Sixth Mass Extinction). Bedanya dengan kepunahan dinosaurus yang disebabkan asteroid, kepunahan kali ini disebabkan oleh satu spesies: Homo sapiens.

Namun, ada perbedaan mendasar antara narasi “Kiamat Agama” dan “Krisis Iklim”. Dalam narasi kiamat, manusia seringkali diposisikan sebagai penunggu pasif takdir. Sedangkan dalam krisis iklim, manusia adalah agen aktif. Artinya, skenario terburuk bisa dibatalkan atau setidaknya diperlambat jika kita berhenti mengemisikan karbon secara drastis hari ini juga.

Psikologi “Eco-Anxiety”

Mengapa banyak orang lebih mudah percaya ini “tanda kiamat” daripada “krisis iklim”? Psikolog menyebut ini sebagai mekanisme pertahanan diri. Menerima fakta bahwa gaya hidup kita (naik kendaraan pribadi, boros listrik, konsumtif) adalah penyebab bencana terasa sangat berat dan memicu rasa bersalah.

Menyebutnya sebagai “takdir kiamat” jauh lebih menenangkan karena melepaskan tanggung jawab manusia. Fenomena ketakutan berlebih terhadap kerusakan lingkungan ini dikenal sebagai Eco-Anxiety.

Kesimpulan

Cuaca ekstrem saat ini adalah “alarm bahaya”, tetapi bukan berarti “lonceng kematian” yang tak bisa dihindari. Menyebutnya sebagai tanda kiamat boleh saja sebagai refleksi spiritual, namun jangan sampai hal itu membuat kita apatis.

Dunia belum berakhir, tapi sedang “sakit parah”. Obatnya bukan sekadar doa, tapi aksi nyata: transisi ke energi terbarukan, stop deforestasi, dan gaya hidup ramah lingkungan. Cuaca ekstrem adalah cara Bumi berteriak agar kita berhenti menyakitinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *