EkonomiSosial

Roti O Viral Ditolak Karena Menolak Pembayaran Tunai: Ini Fakta Lengkapnya

JAKARTA — Sebuah video yang memperlihatkan seorang nenek ditolak saat hendak melakukan pembelian di gerai Roti O karena menggunakan uang tunai menjadi viral di media sosial. Peristiwa ini memicu perdebatan luas di kalangan masyarakat dan menarik perhatian publik terhadap kebijakan pembayaran di berbagai gerai usaha kecil menengah di Indonesia.

Dalam video yang beredar, terlihat seorang nenek sedang mencoba membeli roti di sebuah outlet fast food Roti O. Namun, ketika ia menyerahkan uang Rupiah secara tunai kepada kasir, transaksi tersebut ditolak dengan alasan bahwa gerai hanya menerima pembayaran melalui metode QRIS (Quick Response Indonesian Standard) atau sistem pembayaran digital lainnya. Aksi penolakan itulah yang kemudian menjadi sorotan netizen di berbagai platform media sosial.

Kronologi Kejadian dan Reaksi Publik

Kejadian tersebut bermula ketika si nenek mencoba membayar pesanan dengan uang tunai, tetapi pegawai gerai Roti O hanya mau menerima pembayaran non tunai. Sebuah akun pengguna media sosial kemudian mengunggah video tersebut dan menuliskan kritik terhadap perlakuan yang dialami nenek tersebut. Akibatnya, banyak netizen memberikan tanggapan keras terhadap kebijakan “cashless only” yang diterapkan oleh outlet tersebut.

Unggahan itu memicu munculnya protes dari seorang pria bernama Arlius Zebua, yang kemudian langsung mendatangi outlet tempat kejadian dan menyuarakan keberatan atas tindakan pegawai tersebut. Dalam videonya, Arlius menegaskan bahwa uang tunai harus tetap diterima oleh penjual karena merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia. Ia bahkan melayangkan surat somasi terbuka kepada pihak manajemen Roti O yang dinaungi oleh PT Sebastian Citra Indonesia.

Pandangan yang sama juga disuarakan oleh sebagian netizen yang menilai kebijakan tanpa menerima uang tunai terlalu membatasi, terutama bagi kelompok masyarakat yang belum terbiasa atau tidak memiliki fasilitas untuk melakukan pembayaran digital. Kritikan tersebut mencerminkan kekhawatiran publik bahwa digitalisasi pembayaran tidak boleh membuat sebagian masyarakat terpinggirkan.

Penjelasan dan Tanggapan dari Manajemen Roti O

Menanggapi viralnya video tersebut, pihak manajemen Roti O akhirnya buka suara melalui akun Instagram resmi mereka, @rotio.indonesia. Roti O menyampaikan permintaan maaf kepada publik atas ketidaknyamanan yang terjadi akibat kejadian itu. Manajemen menjelaskan bahwa kebijakan pembayaran tanpa tunai diterapkan untuk memberikan kemudahan serta berbagai promo dan potongan harga kepada pelanggan.

“Penggunaan aplikasi dan transaksi non-tunai di outlet kami bertujuan untuk memberikan kemudahan serta memberikan berbagai promo dan potongan harga bagi pelanggan setia kami,” demikian pernyataan yang dipublikasikan oleh pihak perusahaan. Mereka juga mengatakan telah melakukan evaluasi internal agar pelayanan dapat ditingkatkan di masa mendatang.

Meski demikian, klarifikasi ini tidak sepenuhnya menyurutkan kritik dari warga net dan konsumen yang menilai klasifikasi transaksi harus inklusif, termasuk bagi mereka yang memilih atau hanya mampu melakukan pembayaran dengan uang tunai.

Bank Indonesia Ingatkan Aturan Alat Pembayaran

Isu ini tidak hanya berhenti di media sosial. Bank Indonesia (BI) juga memberikan tanggapan resmi terkait insiden penolakan pembayaran tunai tersebut. BI menegaskan bahwa Rupiah merupakan alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak boleh ditolak sebagai alat pembayaran, kecuali jika terdapat keraguan atas keaslian uang tersebut.

Pernyataan dari BI ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang menegaskan bahwa setiap orang dilarang menolak menerima Rupiah dalam transaksi pembayaran. Ketentuan ini dibuat untuk menjaga hak konsumen dan menegaskan bahwa uang tunai tetap memiliki kedudukan hukum sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Dampak dan Pelajaran dari Kasus Ini

Kasus ini menimbulkan diskusi yang lebih luas mengenai peran digitalisasi dalam sistem pembayaran masyarakat. Di satu sisi, penggunaan teknologi digital seperti QRIS menawarkan kemudahan, kecepatan transaksi, serta potensi promosi harga. Namun di sisi lain, pengalaman nenek yang ditolak bayar tunai ini menjadi pengingat bahwa penyesuaian teknologi perlu mempertimbangkan inklusivitas semua lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti lansia yang mungkin belum familiar dengan sistem digital.

Dari kejadian ini, publik mengharapkan agar pelaku usaha kecil dan menengah dapat menerapkan kebijakan pelayanan yang tidak hanya efisien tetapi juga ramah terhadap semua konsumen, tanpa meminggirkan mereka yang belum siap sepenuhnya menggunakan metode pembayaran digital.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *