Menurut Psikologi: 3 Kalimat yang Sering Diucapkan Orang yang Tak Tahu Berterima Kasih
Mengucapkan “terima kasih” adalah bentuk apresiasi terhadap kebaikan atau bantuan yang diterima — sebuah bentuk kesopanan dasar. Namun menurut pandangan psikologi, tidak semua orang nyaman atau mau mengucapkan ungkapan syukur tersebut. Ada individu yang, alih-alih mengungkapkan terima kasih, justru sering menggunakan kalimat–kalimat tertentu yang menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk benar-benar menghargai. Artikel milik Beautynesia terbaru mengulas tiga contoh kalimat tersebut.
Kalimat-Kalimat yang Sering Muncul
Berdasarkan rangkuman dari artikel tersebut, tiga kalimat yang paling sering muncul dari orang yang dianggap “tidak tahu berterima kasih” adalah:
- “Kamu berutang padaku” — Alih-alih mengungkapkan rasa syukur, orang ini memberi kesan bahwa bantuan atau kebaikan yang diterimanya membuat orang lain “berhutang” kepadanya. Perspektif seperti ini menunjukkan bahwa bantuan dipandang sebagai suatu kewajiban dari pemberi, bukan sebagai kebaikan yang pantas disyukuri. Dalam jangka panjang, pola pikir ini bisa merusak hubungan interpersonal.
- “Tidak ada seorang pun yang berterima kasih saat aku menolong mereka” — Kalimat ini biasanya diucapkan untuk menunjukkan bahwa tindakan memberi bantuannya tidak dihargai. Orang yang menggunakan ungkapan ini mungkin merasa bahwa usahanya sia-sia, karena tidak mendapat apresiasi. Namun dari sisi hubungan, sikap ini bisa membuat pemberian bantuan terasa “berat” dan bisa menimbulkan jarak emosional.
- “Mengapa aku selalu merasa tidak bahagia?” — Ini bukan kalimat terima kasih, melainkan ungkapan keluhan atau keputusasaan. Orang yang sering mengatakan ini, menurut artikel, cenderung sulit merasa puas, sulit mensyukuri apa yang mereka terima. Kebiasaan ini dikaitkan dengan kurangnya rasa syukur — dan sebaliknya, rasa bersyukur menurut penelitian sering dikaitkan dengan kebahagiaan dan kesejahteraan emosional.
Mengapa Orang Bisa Keluar dengan Kalimat Itu?
Menurut psikologi sosial, ketiga ungkapan tersebut bisa muncul karena pola pikir yang berpusat pada kebutuhan dan ketidakpuasan diri. Berikut beberapa kondisi yang memungkinkan:
- Individu yang “tidak tahu berterima kasih” cenderung fokus pada kekurangan hidup mereka — apa yang kurang, apa yang tak mereka miliki — daripada melihat dan menghargai apa yang sudah ada. Hal ini membuat mereka menuntut lebih: kebaikan dianggap sebagai sesuatu yang seharusnya dibayar atau dibalas.
- Ketika bantuan atau perhatian diberikan, mereka gagal memberi apresiasi atau apresiasi terasa dipaksakan — sehingga balasan sering muncul sebagai kritik, tuntutan, atau rasa sakit hati (karena merasa tidak dihargai).
- Kurangnya rasa syukur ini juga bisa berkaitan dengan kesehatan emosional: penelitian menunjukkan bahwa orang yang konsisten menghargai hal-hal kecil dan bersyukur umumnya lebih bahagia dan stabil secara emosional. Sebaliknya, mereka yang jarang bersyukur lebih rentan merasa tidak puas, cemas, atau terus membandingkan diri dengan orang lain.
Dampak pada Hubungan Sosial
Sikap dan kata-kata seperti di atas bisa berdampak buruk pada hubungan—baik pertemanan, keluarga, maupun hubungan romantis. Beberapa efek negatifnya:
- Membuat orang yang memberi merasa lelah, tidak dihargai, atau bahkan dijadikan “pelayan emosional” tanpa apresiasi konkret.
- Mengurangi kepercayaan dan rasa nyaman — karena bantuan dianggap sebagai transaksi: “aku bantu, kamu harus membalas”.
- Menimbulkan rasa bersalah, penyesalan, atau kebencian pada pemberi — yang akhirnya bisa merusak hubungan, atau membuat orang lain menjauh.
- Memperburuk kesehatan mental dan emosional penerima (yang tidak bisa mengekspresikan rasa syukur), maupun pemberi kebaikan (yang merasa usahanya sia-sia).
Pentingnya Rasa Syukur & Mengucapkan “Terima Kasih”
Sebagai kontras — banyak penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan mengucapkan terima kasih dan bersyukur membawa dampak positif signifikan bagi kesehatan emosional dan kualitas hubungan sosial. Orang yang penuh rasa syukur umumnya lebih empatik, rendah hati, dan mampu membangun hubungan sehat serta harmonis.
Mengucapkan terima kasih bukan sekadar etika sosial; itu adalah pengakuan atas kebaikan, sebuah energi positif yang memperkuat ikatan manusia dan meningkatkan kualitas hidup. Bahkan ungkapan sederhana telah terbukti membuat orang lain merasa dihargai — dan menumbuhkan rasa saling peduli.
Kesimpulan
Kalimat seperti “Kamu berutang padaku”, “Tidak ada yang berterima kasih padaku saat aku menolong mereka”, atau “Mengapa aku selalu merasa tidak bahagia?” mungkin terdengar sepele — tapi dalam konteks psikologi dan hubungan interpersonal, itu adalah indikasi dari kurangnya rasa syukur dan apresiasi.
Sebaliknya, mengembangkan kebiasaan mengucapkan terima kasih, menghargai kebaikan orang lain, dan melihat hidup dengan rasa syukur, dapat membuat hubungan lebih sehat dan kehidupan lebih bermakna. Memang butuh kesadaran — tapi hasilnya bisa lebih hangat, dekat, dan harmonis.

