Gaya Hidup

Thrifting di Indonesia: Tren Gaya Hidup yang Berhadapan dengan Regulasi

Jakarta — Di Indonesia, fenomena thrifting — yaitu membeli dan menggunakan kembali pakaian bekas yang masih layak — telah bergeser dari sekadar alternatif ekonomi ke gaya hidup populer, terutama di kalangan generasi muda. Pakaian bekas kini mudah ditemukan tidak hanya di pasar loak tradisional, melainkan juga di “thrift shop”, e-commerce, dan akun media sosial. Tren ini merefleksikan bagaimana konsumsi mode berubah seiring dengan keinginan untuk tampil berbeda, hemat, dan kreatif.

Thrifting menawarkan banyak keuntungan: harga lebih terjangkau, potensi mendapatkan barang bermerek atau vintage, sekaligus memberi nilai gaya unik — aspek yang membuat banyak orang, terutama anak muda, tertarik. Namun di balik itu, fenomena ini memunculkan persoalan hukum yang serius ketika menyangkut impor pakaian bekas.


Regulasi: Kapan Thrifting Jadi Masalah Hukum?

Kunci dari polemik thrifting di Indonesia terletak pada asal barang. Hukum di tanah air — melalui Undang‑Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan serta aturan turunannya seperti Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 — secara tegas melarang impor pakaian bekas. Pakaian bekas impor termasuk dalam daftar Barang Larangan dan Pembatasan (LARTAS), artinya tidak boleh diperdagangkan secara bebas.

Pada praktiknya, ketika pakaian bekas impor masuk ke pelabuhan tanpa memenuhi syarat — seperti dokumen resmi dan prosedur bea-cukai — aparat berwenang dapat menolak, menyita, atau memusnahkannya berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang.

Dengan demikian, thrifting dari barang lokal (barang bekas dalam negeri) tetap diperbolehkan, selagi tidak melibatkan impor bekas ilegal.


Konflik Antara Gaya Hidup, Ekonomi, dan Perlindungan Industri Lokal

Larangan impor pakaian bekas bukan tanpa alasan. Pemerintah berargumen bahwa pakaian bekas impor bisa menggerus pasar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri, yang masih bergantung besar pada pangsa domestik.

Selain itu, ada pertimbangan kesehatan, keselamatan, dan lingkungan — karena pakaian bekas impor bisa membawa risiko, terutama jika tidak memenuhi standar kebersihan atau ada potensi penyalahgunaan impor melalui jalur gelap.

Akibatnya, meskipun thrifting dengan barang lokal secara hukum diperbolehkan, praktik yang populer — yaitu thrift shop dengan barang impor bekas — terus berada dalam bayang-bayang penindakan. Banyak pedagang kecil dan pembeli yang tetap terlibat tanpa menyadari status hukum barang mereka.


Peluang untuk Ekonomi Sirkular dan Alternatif Legal

Walau regulasi melarang impor pakaian bekas, banyak pihak menilai bahwa thrifting bisa diselaraskan dengan tujuan ekonomi sirkular — yaitu memperpanjang siklus hidup produk, mengurangi limbah, dan memberi alternatif akses barang dengan harga terjangkau.

Salah satu jalan tengah yang sering diusulkan adalah mendukung peredaran barang bekas lokal — bukan impor — dan memfasilitasi usaha thrift shop dalam koridor hukum: memudahkan izin usaha, kontrol kesehatan dan kualitas, serta mendorong produksi ulang (rework) atau daur ulang produk lokal.

Langkah ini bisa mendukung industri tekstil dalam negeri, melindungi konsumen, dan tetap memberikan opsi ekonomis bagi komunitas yang menggandrungi thrifting — tanpa melanggar hukum atau merugikan pelaku usaha lokal.


Kesimpulan: Thrifting — Antara Tren dan Regulasi

Fenomena thrifting di Indonesia mencerminkan perubahan gaya hidup dan pola konsumsi yang semakin sadar nilai — baik dari segi ekonomi maupun gaya. Namun ketika thrifting menyentuh aspek impor pakaian bekas, maka praktik ini berhadapan dengan aturan yang ketat, mengingat ada risiko terhadap industri tekstil nasional, kesehatan konsumen, dan kedaulatan produk dalam negeri.

Dengan kata lain: thrifting tidak dilarang — asal barang berasal dari dalam negeri dan dijual secara legal — tetapi impor pakaian bekas jelas melanggar regulasi. Masa depan thrifting di Indonesia bisa positif, bila disertai regulasi yang adil, kontrol yang konsisten, serta dukungan pada industri lokal dan praktik ekonomi sirkular.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *